Ke Sumatra Barat tidak sah kalau belum ke Jam Gadang. Jam Gadang ialah identitas Sumatra Barat. Letak Jam Gadang sendiri bukan di Padang sebagai ibukota propinsi, melainkan disebuah kota kecil tiga jam dari Padang ke arah Pekanbaru, berjulukan Bukittinggi. Bukittinggi terletak didataran tinggi yang berhawa sejuk. Sungguh suatu anugrah bahwa kota sekecil ini mempunyai obyek wisata yang tumplek blek ditengah kota, baik kemegahan alam maupun keagungan sejarah perjuangannya. Maka dari itu saya pernah post kalau hendak berkunjung ke Bukittinggi usahakan reservasi hotel ditengah kota, alasannya lebih banyak didominasi obyek sanggup ditempuh dengan berjalan kaki. Berikut ialah obyek wisata tersebut:
JAM GADANG
Jam Gadang terletak di alun-alun sempurna tengah kota Bukittinggi, merupakan landmark kota Bukittinggi sekaligus propinsi Sumatra Barat. Dulu saya kira Gadang ialah nama yang memang khusus
diberikan untuk jam tersebut. Ternyata itu hanya bahasa sehari-hari. Gadang ialah bahasa Minang yang artinya besar. Rumah gadang artinya ya rumah besar. Jam peninggalan Belanda ini unik alasannya angka romawi 4 tidak ditulis IV tapi IIII. Entah pengunjung sanggup naik atau tidak tapi saya memang tidak berusaha naik alasannya saya pastikan didalamnya tidak ada lift. Cape deh he..he..he… Atapnya mengadaptasi bentuk Minangkabau. Oh ya bentuk khas Minangkabau yang lancip-lancip itu menunjukan tanduk kerbau alasannya kabau artinya memang kerbau. Alun-alun sangat ramai dimalam hari ibarat pasar malam. Mulai dari mainan bawah umur hingga pelukis diberi ruang disini.
ISTANA BUNG HATTA
Letaknya berseberangan dengan Jam Gadang. Sebenarnya tidak ibarat dengan istana tapi lebih ibarat perkantoran. Saya tidak sanggup melihat-lihat alasannya tidak boleh masuk. Namun bersamaan dengan saya ada 2 wanita dengan baju ketat dan minim diperbolehkan masuk bahkan ngobrol dengan satpam diruang tunggu. Perempuan ibarat ini memang selalu menerima terusan lebih bahkan untuk urusan pariwisata sekalipun. Rumah Bung Hatta sendiri cukup sederhana agak keluar kota Bukittinggi kearah Pekanbaru.
PASAR OLEH-OLEH BUKITTINGGI
Letaknya juga diseberang Jam Gadang. Disini sanggup kita temukan segala macam buah tangan ibarat mulai dari gantungan kunci, gantungan mobil, gelang etnik, mukena bordir dan sebagainya. Unggulannya tentu saja kain tenun/songket khas Minang dan bordir. Harganya minta ampun menguras kocek walaupun tolong-menolong sesuai dengan keindahan dan kehalusan buatannya. Sayangnya saya kemalaman hingga dipasar itu sehingga hanya sempat membeli gantungan kunci dan gantungan mobil. Standar banget!
NGARAI SIANOK
Ngarai Sianok ialah favorit saya. Letaknya tidak jauh dari Jam Gadang. Rekahan yang menjadi sajian utamanya memang benar-benar menakjubkan. Speechless! You have to see it by yourself! Jika turun kebawah (dengan kendaraan beroda empat tentu saja), tenyata merupakan lahan persawahan yang subur. Pak Bondan pernah makan disini di rumah makan yang populer dengan sambal lado ijonya. Sayangnya waktu saya kesana bukan jam makan, jadi belum ingin makan.
LOBANG JEPANG
Masih satu area dengan Ngarai Sianok. Ini ialah persembunyian bawah tanah pasukan Jepang. Saat ini sudah dipugar sehingga pengunjung sanggup masuk kedalamnya. Tapi kalau pertama kali berkunjung, penting sekali untuk menyewa guide alasannya lorongnya sangat dalam, terjal dan panjang. Guide sanggup membantu kita semoga tidak tersesat, juga sanggup memperlihatkan pemberian kalau kecapaian. Jangan lupa membawa kantong plastik terutama untuk ibu-ibu yang tidak berpengaruh jalan mendaki atau busuk pengap. Pastinya tahu kan kantong plastiknya untuk daerah muntah? Jika tidak berpengaruh keluar lewat tangga yang sama, sanggup keluar lewat sisi bukit yang lain yang lebih landai, teman si guide akan menjemput dengan kendaraan beroda empat diujung tersebut. Saya? Kalau yang main fisik begini saya lewat aja deh. Ditaman diatas Lobang Jepang ini juga dibangun sebuah prasasti. Isi prasati sudah lupa dan tidak saya dokumentasikan juga.
PASAR WISATA
Ini juga satu lokasi dengan Ngarai Sianok dan Lobang Jepang. Namanya pasar wisata tentu jualannya khas setempat. Banyak juga pelukis disini. Yang paling saya sukai ialah pasmina yang ibarat songket tangan jaman Belanda. Cantiiik…. sekali. Kok saya nggak beli ya? Namun demikian terselip juga satu dua pedagang sandal obralan pasar umum. Diujung pasar ini ada segerombolan monyet. Pengunjung banyak yang memberi makan. Saya menjauhkan diri selain alasannya takut dicakar, monyetnya bau, juga suka menyerobot barang bawaan pengunjung. Hati-hati ya.
BENTENG FORT DE KOCK
Tidak jauh dari alun-alun. Untuk ukuran benteng, Fort De Kock yang peninggalan Belanda ini tidaklah besar. Tapi alasannya letaknya diatas bukit memudahkan memantau kondisi kota dari semua arah mata angin. Lagi-lagi saya tidak beranjak ke atas gardu pandangnya. Tidak banyak yang sanggup dilihat disini selain beberapa binatang dan ojek kuda yang diantri bawah umur kecil.
KEBUN BINATANG
Dari Fort De Kock dihubungkan dengan jembatan penyeberangan berjulukan Limpapeh. Jembatan ini melintang diatas jalan utama Bukittinggi. Kebun Binatang dimanapun lokasinya ialah obyek wisata paling tidak saya sukai alasannya baunya yang menganggu hidung. Tapi bagi anak-anak, kebun binatang dimanapun itu ialah obyek wisata favorit mereka. Kebun binatang ini cukup luas namun koleksinya terbatas dan standar, ibarat macan dan monyet. Didalamnya terdapat rumah etika yang menyimpan hewan-hewan berkelainan yang diawetkan, contohnya babi hutan berkaki 6 dan sebagainya.
Nah dimana lagi ada kota wisata sekomplit Bukittinggi?
1st published at www.burselfwoman.wordpress.com 12 April 2009
Sabtu, 13 Oktober 2018
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon