Pemeran Rama & Shinta, satu2nya foto yg tersisa & sdh dicropping |
Jogja mempunyai banyak obyek wisata, dan yang paling banyak dikunjungi yaitu tempat-tempat yang bekerjasama dengan kuliner dan belanja kerajinan. Mudik tahun lalu, saya mengajak bawah umur melihat Sendratari Ramayana. Saya pikir, mereka harus sekali-kali diajak menikmati wisata budaya. Apalagi sebagai keturunan Jogja tulen (dari pihak ayahnya), bawah umur yang besar di Sumatra ini harus dikenalkan dengan budaya moyangnya.
Saya sudah pernah menonton Sendratari Ramayana sewaktu kuliah dulu. Pagelarannya kolosal dan sangat spektakular. Sayangnya waktu itu yang menonton bersama saya kebanyakan turis asing. Entah mengapa wisatawan lokal kurang tertarik. Saya berharap, kali ini lebih banyak orang Indonesia.
Sendratari Ramayana dipenggal dalam beberapa babak dan ditampilkan pada jam tertentu dimalam hari. Untuk panggung Open Theater, latar belakang berupa candi Prambanan yang diterangi lampu sorot, terlihat sangat dramatis. Sedangkan panggung tertutup, Trimurti Theater, belum pernah saya coba. Saya juga selalu menentukan yang ada adegan Hanuman Obong, alasannya yaitu seru, ada adegan perang dan pembakaran. Tiket masuk memang tidak murah, mulai dari Rp 100.000,-, tapi sangat sepandan dan masih lebih murah dibandingkan dengan konser-konser musik artis.
Tiket masuk |
Sayang, foto-foto saya hilang bersama laptop yang diambil pencuri, dan hanya tersisa satu foto yang telah saya cropping pula untuk artikel lain.
Sudah cukupkah service penyelenggara sebelum sendratari dimulai? Belum! Setelah melangkah masuk arena, pengunjung disambut oleh satu group gamelan yang mengalunkan tembang-tembang Jawa yang menentramkan. Group gamelan itu duduk di semacam gazebo. Pengunjung boleh ikut selonjor disana, asal muat, alasannya yaitu tempatnya tidak terlalu luas. Didepannya ada rak-rak berisi brosur jalannya cerita. Ini penting alasannya yaitu tidak ada obrolan dalam sendratari, hanya tarian yang diiringi gending dan tembang. Brosur disediakan dalam beberapa bahasa. Saya mengambil yang berbahasa Indonesia dan Inggris untuk bawah umur saya. Saya sendiri tidak perlu alasannya yaitu sudah paham ceritanya. Lebih baik brosur dibaca sebelum sendratari dimulai alasannya yaitu pada dikala pementasan, lampu pengunjung dipadamkan. Selama pagelaran juga dibantu dengan narasi dalam bahasa Indonesia dan Inggris di setiap pergantian babak.
Tempat duduk di Open Theater berbentuk U. Pengunjung VIP menerima daerah duduk didepan panggung persis, sedangkan kelas lain di serpihan atas, sudut dan kanan kiri panggung. Tempat duduk VIP dari sofa empuk, sementara kelas lain cukup nyaman dari watu candi. Meski demikian, sutradara sendratari sangat cerdik memanfaatkan luas panggung, alasannya yaitu penari sanggup muncul dari mana saja. Di dua sudut di formasi pengunjung juga ada panggung kecil, daerah kemunculan beberapa penari. Adegan paling spektakuler ketika Rama bangun disana disorot lampu besar kemudian memanah musuhnya yang ada di panggung utama. Jleb! Tidak meleset samasekali (enggak nembus alasannya yaitu tidak runcing), menyerupai betulan, padahal jaraknya sangat jauh.
Pementasan Sendratari Ramayana di awali dengan pembukaan dari pembawa program perempuan, yang suaranya sangat bagus, ngebass dan empuk. Pembawa program membacakan tata tertib selama pementasan berlangsung semoga semua pengunjung sanggup menikmati jalannya sendratari tanpa gangguan. Tata tertib dibacakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Penyelenggara memperlakukan Sendratari Ramayana menyerupai pertunjukan opera di Eropa. Sayangnya, pengunjung Indonesia masih banyak yang seenaknya, antara lain tiba terlambat sehingga tidak mendengar tata tertibnya, ribut dengan rombongan sendiri, berisik makan camilan, nyinyirin adegan-adegannya, foto-foto tanpa henti, dan sebagainya. Sedih banget melihat kenorakan itu alasannya yaitu mereka bukanlah orang udik, melainkan pendatang dari kota metropolitan yang modern dan terdidik.
Sendratari berlangsung mengalir, tarian demi tarian. Kita tak henti dibentuk kagum oleh koreografi dan stamina penari dalam menguasai panggung seluas itu. Penari terdiri dari aneka macam usia. Penari bawah umur menerima kiprah menjadi kera-kera kecil pasukan Hanuman. Gerakan mereka lucu dan tengil. Anak-anak tertawa melihat tingkah bawah umur monyet itu. Sewaktu saya masih tinggal di Kotagede dulu, depan rumah kami yang merupakan aula balaidesa sering dipakai bawah umur rombongan Ramayana ini berlatih tari. Sayang, bawah umur saya tidak tertarik ikut latihan, meskipun saya dulu sangat suka menari.
Penari-penari pasukan Rahwana yaitu yang paling memerlukan ketrampilan fisik tingkat tinggi alasannya yaitu mereka menari sambil meloncat, berlari dan berguling-guling. Meskipun Shinta dan pengiringnya selalu menari dengan lemah lembut dan tampak ringkih, tapi mengagumkan bagaimana mereka sanggup berjalan sedemikian cepat dengan kaki setengah berjinjit tiap masuk dan keluar panggung. Bagian paling menghibur yaitu ketika Rama mengejar kijang emas. Penari kijangnya sangat lincah, menari sambil meloncat-loncat dengan lonceng-lonceng kecil dikakinya.
Kira-kira setengah dari pementasan, ada waktu istirahat. Nah, di waktu inilah kita dipersilakan ke toilet atau makan minum. Untuk penonton VIP dilayani oleh waiter, sedangkan pengunjung kelas lain boleh membuka bekal masing-masing. Heheheee.....
Mendekati tamat pementarasan, adrenalin ditingkatkan dengan semakin seringnya adegan perkelahian, yang diakhiri dengan pembakaran kerajaan Alengka oleh Hanuman. Penyelenggara memakai atap-atap sirap untuk menggambarkan Alengka sehingga kebakaran yang ditimbulkan cukup seru, api berkobar-kobar menjilat langit. Penonton bertepuk tangan dengan semangat. Anak-anak kecil terkagum-kagum melihat adegan yang dahsyat itu. Adegan Shinta obong lagi-lagi menciptakan penonton terpukau.
Pertunjukkan ditutup dengan meninggalkan perasaan besar hati terhadap seni budaya bangsa Indonesia. Sendratari bukan hanya milik orang-orang kuno atau pedesaan, tapi sanggup tampil secara langsung menyerupai opera di Eropa. Harapannya, kita sebagai pemilik seni budaya itu harus sanggup menyesuaikan diri dengan hukum yang tertib, alasannya yaitu itu juga merupakan bentuk penghargaan terhadap para seniman yang sedang tampil.
Sebelum pulang, penyelenggara yang sangat paham unsur utama pariwisata, yaitu menjunjung hospitality, juga memberi kesempatan pada pengunjung untuk foto bersama seluruh penari di panggung utama. Makara jika ke Jogja, jangan lewatkan Sendratari Ramayana ya.
Brosur dalam bahasa Inggris |
Pementasan Sendratari Ramayana di awali dengan pembukaan dari pembawa program perempuan, yang suaranya sangat bagus, ngebass dan empuk. Pembawa program membacakan tata tertib selama pementasan berlangsung semoga semua pengunjung sanggup menikmati jalannya sendratari tanpa gangguan. Tata tertib dibacakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Penyelenggara memperlakukan Sendratari Ramayana menyerupai pertunjukan opera di Eropa. Sayangnya, pengunjung Indonesia masih banyak yang seenaknya, antara lain tiba terlambat sehingga tidak mendengar tata tertibnya, ribut dengan rombongan sendiri, berisik makan camilan, nyinyirin adegan-adegannya, foto-foto tanpa henti, dan sebagainya. Sedih banget melihat kenorakan itu alasannya yaitu mereka bukanlah orang udik, melainkan pendatang dari kota metropolitan yang modern dan terdidik.
Brosur dalam bahasa Indonesia |
Penari-penari pasukan Rahwana yaitu yang paling memerlukan ketrampilan fisik tingkat tinggi alasannya yaitu mereka menari sambil meloncat, berlari dan berguling-guling. Meskipun Shinta dan pengiringnya selalu menari dengan lemah lembut dan tampak ringkih, tapi mengagumkan bagaimana mereka sanggup berjalan sedemikian cepat dengan kaki setengah berjinjit tiap masuk dan keluar panggung. Bagian paling menghibur yaitu ketika Rama mengejar kijang emas. Penari kijangnya sangat lincah, menari sambil meloncat-loncat dengan lonceng-lonceng kecil dikakinya.
Kira-kira setengah dari pementasan, ada waktu istirahat. Nah, di waktu inilah kita dipersilakan ke toilet atau makan minum. Untuk penonton VIP dilayani oleh waiter, sedangkan pengunjung kelas lain boleh membuka bekal masing-masing. Heheheee.....
Mendekati tamat pementarasan, adrenalin ditingkatkan dengan semakin seringnya adegan perkelahian, yang diakhiri dengan pembakaran kerajaan Alengka oleh Hanuman. Penyelenggara memakai atap-atap sirap untuk menggambarkan Alengka sehingga kebakaran yang ditimbulkan cukup seru, api berkobar-kobar menjilat langit. Penonton bertepuk tangan dengan semangat. Anak-anak kecil terkagum-kagum melihat adegan yang dahsyat itu. Adegan Shinta obong lagi-lagi menciptakan penonton terpukau.
Pertunjukkan ditutup dengan meninggalkan perasaan besar hati terhadap seni budaya bangsa Indonesia. Sendratari bukan hanya milik orang-orang kuno atau pedesaan, tapi sanggup tampil secara langsung menyerupai opera di Eropa. Harapannya, kita sebagai pemilik seni budaya itu harus sanggup menyesuaikan diri dengan hukum yang tertib, alasannya yaitu itu juga merupakan bentuk penghargaan terhadap para seniman yang sedang tampil.
Sebelum pulang, penyelenggara yang sangat paham unsur utama pariwisata, yaitu menjunjung hospitality, juga memberi kesempatan pada pengunjung untuk foto bersama seluruh penari di panggung utama. Makara jika ke Jogja, jangan lewatkan Sendratari Ramayana ya.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon