Selasa, 09 Oktober 2018

Info Dear Pekalongan,

www.burselfwoman.com 8 September 2010
Tujuhbelas tahun saya merindukanmu. Kemarin kuputuskan untuk menempuh perjalanan yang luar biasa melelahkan untuk menemuimu lagi. Sudah kusiapkan puisi indah untukmu. Namun puisi itu tidak kuteruskan, sebab itu bukanlah cerminan diriku yang sesungguhnya, selain juga diejek habis-habisan oleh adikku.
Begitu memasukimu, saya memutuskan untuk menyegarkan diri sebentar disebuah pom bensin. Aku ingin kita bertemu dengan wajah sama-sama berseri. Namun inilah kamar mandi dengan air terkotor yang pernah kutemui semenjak pagi
hingga malam dalam perjalanan. Dan taukah kamu, disinilah pula satu-satunya pom bensin dari pom pensin yang saya kunjungi sebelumnya yang ada pengemisnya.
Sulit untuk melihat dirimu seutuhnya dimalam hari meskipun kau kini terang-benderang. Manusia menyemut diseluruh penjuru menghalangi pandanganku. Mal pertama itu yang pertama kali kulihat sebab menonjol dibanding toko-toko disebelahmu. Mal itu tampak lebih anggun dari dikala pertama berdiri dulu. Hey mal, ingatkah kau dulu menghadiahiku jam tangan sewaktu pertama kali kau dibuka?
Aku juga melewati bioskop cineplex pertamamu. Aku ingat film terakhir yang kutonton berjudul “La Bamba” bersama seorang sahabatku. Satu-satunya film yang kami anggap pantas untuk kami tonton waktu itu, sebab meskipun untuk 17 tahun keatas namun ini film perihal musik, perihal si penyanyi La Bamba, Richie Valen(zuela).
Lalu saya menyusuri Jl. Hayam Wuruk, daerah saya membeli sebagian besar kebutuhanku dulu. Aku juga mempunyai beberapa sahabat yang mempunyai toko disepanjang jalan itu. Aku sangat terkejut, kau dibagian ini tampak sangat tua. Atau kau membiarkan dirimu tua? Tidakkah kau ingin kekal muda dan sedap dipandang? Kamu bisa kan sedikit shapping dan facelift? Memang sih, biayanya mahal. Tapi bukankah kau melindungi banyak saudagar kaya? Atau bisa juga kalau mau agak murah, pakai bedak dasar, bedak tabur dan bedak compact yang agak tebal. Boleh dioles sedikit blush-on dan lipstick kalau ingin tampak natural menyerupai bangunan-bangunan renta di Semarang, Medan dan kota renta Jakarta, walaupun anggun juga kalau berani menor menyerupai Chinatown di Singapura.
Tidak usah tebak-tebakan, kau benar, saya eksklusif ke alun-alun. Aku pernah ikut aubade disini dan beberapa kali digiring untuk mengikuti upacara peringatan hari-hari besar tertentu. Dulu kau sama panasnya dengan sekarang, tentu saja saya menentukan melarikan diri dibawah pohon dipinggir alun-alun. Kemana pohon itu? Sulit mencari diantara launtan manusia. Sungguh-sungguh lautan manusia. Kutahan nafas dalam-dalam melewati lautan insan itu. Bagaimana kalau ada yang terserempet tidak sengaja? Bagaimana kalau ada yang jail menggores mobil? Bagaimana kalau ada yang berantem kemudian terjadi tawuran massal? Aku niscaya tidak akan bisa melarikan diri.
Di sisi timur alun-alun ternyata berdiri satu mal lagi. Lautan insan itu sepertinya bukan hendak berbelanja di mal itu. Mereka hanya berdiri diluar entah melihat dan mencari apa. Mal daerah bazaar baju tidak terlalu ramai, bahkan restoran masakan siap saji yang berada didepan kosong melompong.
Alun-alun itu… oh alun-alun itu dipenuhi tenda pedagang makanan. Tampak semrawut dan kumuh. Membayangkannya disulap menjadi menyerupai Merdeka Walk di Medan. Alangkah nyamannya… Atau kalau itu terlalu mewah, bisa juga dengan menyeragamkan tendanya atau merelokasi ke daerah lain, biar alun-alun kembali ke fungsinya sebagai ruang publik yang lebih lega. Pasti asik sekali bawah umur bisa bermain kembang api disana. Meluncurkan kembang api missile dan meledak diudara. Suasana menjadi meriah sebab terjadi persaingan ketinggian, keindahan, keterangbenderangan dan kekerasan bunyi antar pengunjung, menyerupai di alun-alun Magelang.
Aku melongok kesana kemari mencari sosok mesjid Kauman. Sesuatu menyilaukan mataku, membuatku tidak bisa melihat mesjid lambangmu itu. Sebuah layar mencorong dengan warna-warni menyilaukan seolah melahap habis apapun yang ada disekitarnya. Membuat sekitarnya seolah hilang. Aku pernah melihat layar iklan itu dikota-kota lainnya menyerupai Pekanbaru dan Magelang. Tapi layarmu ini yang terlebar. Selain juga dikota lain tidak bersaing dengan mesjid. Seandainya layarmu ini difungsikan sebagai layar tancap, dari ujung manapun di alun-alun ini pasti  bisa melihatnya. Tapi yang kulihat malam itu hanya iklan rokok, yang bisa ditonton segala usia. Maaf saya harus berkata, kehadirannya yang gemebyar itu menciptakan masjid Kauman tampak renta dan letih. Apalagi malam itu masih terdengar bunyi imam memimpin sholat Tarawih yang tidak bisa kuuikuti. Terdengar kontras dan trenyuh.
Ironinya malam itu dikota santri, parkir didekat mal dan tenda-tenda warung penuh sesak tiada sela bahkan untuk berjalan. Sementara diseberangnya, didepan mesjid Kauman yang sedang menggelar sholat Tarawih, masih bersisa beberapa ruang parkir.
Dengan berjalan kaki, kucari yang sudah kunanti semenjak mengawali perjalanan ini, sumber kelezatan, Pak Masduki. Sepiring kasar asem lengkap dengan telur dan sepiring nasi Megono membuatku tak mengeluhkan apapun. Hanya kebanggaan yang bisa meluncur. Seolah tidak cukup, masih membungkus lagi untuk sahur.
Tiada yang lebih manis selain bertemu teman-teman usang untuk mengingat kembali hari-hari kemudian bertahun-tahun yang lalu. Tempat janjian kami disebuah café. Aku sempat tidak percaya kau kini mempunyai café. Sayangnya saya tidak sempat menikmati café ala kau sebab teman-temanku terlambat tiba dan saya tidak mempunyai banyak waktu. Kabarnya salah satu dari mereka sudah menyiapkan pindang tetel untukku tapi terjebak macet. Alasan yang dulu sama sekali tidak akan dipercaya. Huuuh… pindang tetel. Ngiler nih.
Jalan menuju keluar darimu juga agak sulit, sebab pasar tiban dimana-mana. Pasar tiban memang rejeki Ramadhan. Siapa saja boleh mencoba meraihnya. Bahkan odong-odong keliling kegemaran anak-anak. Tapi kalau diadakan dikanan dan kiri jalan, bisa berubah jadi tragedi kalau ada yang terserempet. Kalau hingga kejadian, niscaya saya sebagai pendatang kan yang disuruh membayar ganti rugi? Jangan menciptakan dirimu menyeramkan bagi pendatang. Kalau toh tidak punya lapangan untuk mengadakan pasar tiban, sekalian saja jalan itu distop dari ujung ke ujung sehingga pengendara tidak terjebak dan bisa mencari jalan lain sebelumnya.
Jalan menjadi agak lengang dikala memasuki Jl Dr. Cipto. Jalan inipun tampak lebih lebar dan bangunan sekitarnya tampak lebih rapi sebab mungkin masih relatif lebih baru. Malam itu diakhiri dengan kekecewaan sudah tutupnya pasar Setono sebab sudah terlalu malam.
Pekalongan, delapan tahun saya menjadi belahan dari dirimu. Seperti apapun dirimu sekarang, saya mustahil membencimu sebab kau ada disebagian tubuhku. Kamu ada dalam bentuk nasi megono yang kumakan tiap sarapan. Kamu ada dalam bentuk gemblong yang kukudap tiap sore. Kamu ada dalam bentuk ayat-ayat suci yang kupelajari dulu. Kamu ada dalam kekuatan fisikku sebab enam tahun bersepeda berkilo-kilo meter jauhnya dibawah sinar mataharimu yang populer menyengat. Kamu ada dalam caraku menghargai sesama dari etnis apapun.
Pekalongan, demi sayangku padamu, berdandan yok. Bergeser, melebar, supaya tidak berjejalan dibawah satu lampu menyerupai laron. Beri semangat pada toko-toko renta itu untuk berhias biar wajah mereka tampak berseri-seri. Tegaskan ikonmu sekarang, mesjid Kauman atau layar itu. Jika mesjid Kauman, sepertinya gampang bagimu membuatnya lebih megah dan bersinar, melebihi sinar manapun yang ada diseluruh dirimu.
Pekalongan, tidak hingga dua jam saya memandangimu. Tidak cukup memang. Aku masih berangan melihat ngebom, Medono dan sekolah-sekolahku dulu. Aku masih berangan menyantap nasi uwet dan nasi kebuli. Tapi waktuku hanya hingga disitu.
Dear Pekalongan, terima kasih kasar asemnya…

Info Dear Pekalongan, Rating: 4.5 Diposkan Oleh: anton
Terima kasih sudah berkomentar