Pantai Ngobaran di Gunugkidul, Jogja, beberapa tahun kemudian sempat ngehits di instagram berkat foto-foto eksotis sore hari berlatar pura menyerupai di Bali.
Sebenarnya aku kesana sudah agak usang ya, selesai tahun 2014. Tapi gres kini sempat ngeblog perihal pantai Ngobaran. Kemarin-kemarin terlalu asik ngeblog perihal kuliner.
Pantai Ngobaran terletak di 70 km tenggara Jogja. Pantai ini satu tempat dengan pantai Ngrenehan dan Nguyahan. Berhubung waktu itu yang banyak di instagram ialah pantai Ngobaran, jadi kami menentukan kesana dulu.
Kami mengambil rute Suaka Margasatwa Paliyan yang jalannya mulus dan pemandangannya sawah dan kebun menghijau. Meski begitu, kami sudah siap dengan jalan yang lebih menantang alasannya sudah googling sebelumnya bahwa jalan menuju pantai tersebut sangat curam.
Ternyata benar! Memasuki tempat pedesaan menuju pantai, jalannya naik turun dan berkelok tajam. Kalau belum usang dapat nyetir, mending jangan deh. Retribusi resminya murah lo, cuma Rp 3.000 waktu itu. Tapii.... siapkan uang receh untuk penduduk yang berinisiatif memberi isyarat di tiap tikungan. Dan tikungannya itu banyak. Kadang mereka sendiri, kadang bergerombol. Ada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Memang sih sukarela, tapi kalau nggak ngasih ya absurd juga, kan sudah dibantuin? Selain curam, jalannya juga tidak terlalu lebar, alasannya itu, isyarat warga cukup membantu biar pengemudi gantian kalau berpapasan.
Idealnya sih dipasang reflektor saja, biar pengunjung tidak perlu membayar lebih dari yang dianggarkan. Kasihan juga kalau nggak siap uang. Tapi dengan tikungan sebanyak itu, berapa reflektor ya? Mungkin dapat dicicilah menyerupai kelok 44 yang tajam kelokannya di Sumatra Barat yang sudah dipasangi reflektor di tiap tikungan.
Selain itu, kita juga harus membayar parkir di pantai Ngobaran. Waktu itu kami dimintai Rp 10.000 untuk satu mobil.
Setelah ketegangan itu, ternyata waktu itu belum banyak orang berjualan di tempat yang nyaman untuk selonjoran. Semoga kini sudah ada. Dulu yang ada penjual kuliner kecil non-permanen. Sepertinya mie instan rebus juga ada. Sebaiknya memanfaatkan hasil maritim menyerupai pantai-pantai lainnya. Warungnya pun tak perlu mewah, semi permanenpun tak apa, cukup dapat buat selonjor saja dan bersih. Karena itu sebaiknya bawa bekal saja.
Yang tampak menonjol disini ialah pura yang dibarngun dalam sebuah kompleks. Sekilas pura ini lebih menyerupai tempat ibadah dibanding tempat wisata. Ternyata memang tempat ini menjadi lokasi upacara Melasti. Pura-pura Hindu yang ada memang mengingatkan akan Bali.
Dibawah pura ada sebuah musholla kecil menghadap pantai. Ah, aku jadi mikir, bagaimana kalau terkena erosi ya? Yang menciptakan aku gundah ialah mesjid ini menghadp selatan dengan mimbar di selatan menghadap maritim lepas. Suasananya magis, tapi untuk sholat terang salah arah. Oleh penduduk, kiblat ditandai di tembok supaya tidak salah. Tapi kalau tidak membawa tikar, sebaiknya sholat di musholla lain alasannya lantainya pasir.
Deburan ombak tanggapan air maritim yang memecah tebing curam sangat elok untuk foto. Saya sih cukup foto diatas saja, tidak turun kebawah alasannya curam. Ada tangga sih tapi tampaknya akan ngos-ngosan sekali. Sebenarnya didekat mesjid ada pantai yang lebih landai tapi sempit terhimpit karang.
Waktu terbaik untuk foto disini sore hari. Tapi mengingat jalan yang berkelok tajam, sebaiknya jangan terlalu malam.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon